Menimbang Kesiapan UU JPH

 

 

Jakarta -  Indonesia Halal Watch (IHW) menyelenggarakan konferensi pers pada 10 Juli 2019 di Gedung Wisma Bumiputera, Jakarta. Acara yang mengundang para awak media ini mengangkat tema "Perlunya Lembaga / Badan Halal di Bawah Presiden untuk Memacu Pertumbuhan Industri Halal dan Keuangan Syariah di Indonesia".

Direktur Eksekutif IHW, Dr. H. Ikhsan Abdullah, S.H., M.H. memaparkan bahwa Indonesia sedang menjadi sorotan dunia. Pasalnya, dengan jumlah penduduk muslim terbesar di dunia, yakni sekitar 87%, perkembangan industri halal di Indonesia masih berada di bawah rata-rata negara lain. Tentunya ini menjadi pecut bagi pemerintah untuk lebih mendorong Indonesia menjadi pusat industri halal dunia.

Yang lebih disayangkan, saat ini industri halal dan lembaga keuangan syariah masih berjalan masing-masing. Masih banyak pelaku usaha yang mengincar pembiayaan dari lembaga keuangan konvensional. Sementara perbankan syariah juga belum menjadikan nasabah atau orientasi bisnisnya di industri halal. “Perlu ada suatu badan yang menghubungkan dua hal ini agar dapat berjalan beriringan. Dengan begitu, kesempatan Indonesia untuk menjadi pusat industri halal dunia kian besar,” ungkap Ikhsan Abdullah.

Sebuah badan atau lembaga yang dimaksud ini berada langsung di bawah Presiden, sehingga dapat melakukan hubungan kelembagaan antar-kementerian, sekaligus bersifat sebagai eksekutor. Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) dianggap belum mewakili posisi ini. "Keberadaan BPJPH saat ini selevel Eselon 1 di bawah Kementerian Agama, posisinya sangat sulit untuk melakukan Official Senior Meeting dengan kementerian terkait, karena tidak dapat melakukan eksekusi kecuali memperoleh persetujuan dari Kementerian Agama,” paparnya.

Semua hal ini tentu tidak terlepas dari dasar hukumnya, yakni Undang-Undang Nomor 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal (UU JPH). Hingga kini masyarakat, dunia usaha, serta pegiat halal masih menunggu implementasi dari UU JPH yang semakin dikuatkan dengan keluarnya Peraturan Pemerintah Nomor 31 Tahun 2019. Hal ini sebagai bentuk komitmen pemerintah untuk mewujudkan sistem mandatori dalam sertifikasi halal yang akan dilancarkan pada 17 Oktober 2019.

Sayangnya, sampai hari ini persiapan BPJPH dinilai belum menunjukkan kemajuan yang signifikan, meski implementasi UU JPH akan berlangsung sekitar tiga bulan mendatang. Di sisi lain, UU JPH Pasal 10 Ayat 1 telah menyatakan bahwa bentuk kerjasama antara BPJPH dengan Majelis Ulama Indonesia (MUI) berupa sertifikasi auditor halal, penetapan kehalalan produk, dan akreditasi Lembaga Pemeriksa Halal (LPH).

Dalam hal sertifikasi auditor, MUI telah mengamanatkan LSP LPPOM MUI sebagai lembaga sertifikasi profesi yang melaksanakan proses sertifikasi auditor halal. Amanat ini tertuang dalam SK MUI No. Kep-214/MUI/II/2018 tentang Penetapan Lembaga Sertifikasi Auditor Halal. LSP LPPOM MUI menjadi satu-satunya pemegang lisensi pelaksanaan sertifikasi kompetensi kerja di bidang penjaminan produk halal dari BNSP.

Ketidaksiapan BPJPH dalam implementasi UU JPH juga diperparah dengan belum jelasnya keberadaan LPH. "Keberadaan LPH yang mensertifikasi halal sebuah produk malah belum jelas bentuknya seperti apa. Meski ada keharusan setiap LPH mendapatkan sertifikasi dari BPJPH dan MUI, namun sejauh ini belum ada satu pun LPH yang terakreditasi," ungkap Ikhsan Abdullah.

Dari kebutuhan dasar terselenggaranya proses sertifikasi halal, seperti yang tercantum pada UU JPH Pasal 10 Ayat 1, IHW menilai LPPOM MUI yang lebih siap menjadi eksekutor UU JPH, atau dalam hal ini menjadi lembaga / badan halal di bawah presiden. (YN)

Sumber: Jurnal Halal, 120


Informasi Terkait
Sering kita mendengar istilah halal dan thoyib, Produk halal adalah bebas dari bahan baku yang dilarang secara hukum agama Islam, sedangkan produk thoyib adalah produk atau barang y... ⇛ Selengkapnya